Kamis, 21 Mei 2009

Sensitif Gender Dalam Pemilihan Caleg

Oleh:
Nesyia Permata Suri

PEMILU legislatif tahun 2009 memicu kontroversi dari pelbagai pihak karena dibumbui isu sensitif gender. Kontroversi dimulai ketika kaum feminin semakin lantang meneriakkan spirit demi memeroleh jatah kursi sebagai wakil rakyat. Kuota 30 persen yang diperoleh kaum hawa di setiap partai politik untuk bertarung pada pemilihan legislatif dianggap belum begitu menggembirakan.
Langkah perempuan untuk terjun ke dunia politik masih sangat kurang. Indikasinya adalah dari partisipasi kaum perempuan yang duduk di badan legislatif, baik daerah maupun pusat masih sangat minim. Kendala tersebut disebabkan karena banyak perempuan yang beranggapan bahwa politik bukanlah dunia mereka. Mereka masih terdoktrin pikiran-pikiran kolot bahwa perempuan hanya pantas berada di dapur bukan berjuang di depan dengan mengobarkan suara untuk kaumnya. Tidak bisa disalahkan jika budaya patriakhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi kehidupan. Karena dari aspek terkecil pun, budaya ini sulit untuk ditepiskan, seperti di dalam keluarga, bahwa laki-laki lebih mendominasi daripada perempuan. Semua keputusan keluarga berada di tangan kepala keluarga yang tidak lain adalah Ayah.
Persepsi yang menilai perempuan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan merupakan batu ganjalan untuk langkah perempuan menuju parlemen. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena lebih banyak menggunakan perasaan daripada logika dalam berfikir dan bertindak. Padahal jika kita lihat kenyataannya, belum ada riset secara gamblang yang meneliti asumsi tersebut. Di Filipina, negara tersebut dipimpin oleh seorang perdana menteri perempuan yang memiliki kelainan seksual (lesbian), namun rakyat Filipina memberikan kepercayaan penuh kepada perdana menteri untuk memimpin negerinya. Ratu Elizabeth salah satu bukti nyata bahwa perempuan tidak hanya menjadi pelengkap di kancah politik. Ia membuktikan itu dengan memimpin Inggris yang merupakan salah satu negara maju di dunia, sehingga berdampak pengakuan dan perlindungan akan perempuan di negara tersebut. Di Indonesia paham seperti kedua negara tersebut belum bisa kita rasakan, dengan memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk ikut bertarung dalam dunia politik. Mungkin menurut masyarakat Indonesia, politik lebih diidentikkan dengan dunia laki-laki yang kuat dan tahan banting.
Telah terjadi kesenjangan antara keadilan yang menempatkan perempuan dengan laki-laki setara, karena realitas yang terjadi, perempuan masih terkekang karena tidak adanya ruang kesempatan yang memadai untuk mengapresiasikan perannya. Paham-paham dari kebudayaan itu terlalu kuat dan terlebih lagi telah berakar. Akibatnya upaya melapangkan kesetaraan dan persamaan hak terpental dan semakin menyingkirkan kaum perempuan yang dilemahkan oleh sistem.
Tidak sedikit partai yang menggunakan perempuan sebagai alat kampanye dan tidak konsisten dalam memerjuangkan hak-hak perempuan di parlemen. Banyak partai politik yang menomorduakan perempuan. Hanya sedikit perempuan yang namanya diletakkan diurutan pertama pada pemilihan caleg baik pusat maupun daerah, padahal perempuan bukanlah pelengkap dari pesta akbar ini. Salah satu contoh yang mewakili suara perempuan adalah Fifi Afiah. Ia adalah salah satu caleg anggota DPRD kota Bandung yang diusung oleh partai Golkar dengan nomor urut tiga untuk daerah pemilihan Bandung 3. Dari 156 caleg yang diusung partai Golkar untuk DPRD, ia berani maju menjadi salah satu wakil perempuan untuk pemilihan caleg April mendatang. Ia sadar betul bahwa kualitas yang dimilikinya dapat membantu kaum perempuan menuju lebih baik. Menurutnya, perjuangannya sekarang tidak lain untuk membuktikan kualitas perempuan di mata masyarakat.
Tahun ini KPU (Komisi Pemilihan Umum) menetapkan UU No 10/2008 tentang Pemilu dalam Pasal 53 dan 55, mengenai 30 persen wanita mengikuti pencalonan anggota legislatif. Namun, peraturan ini tidaklah kuat karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap partai yang kurang mengusung 30 persen perempuan sebagai caleg. Sanksi yang diberikan hanyalah sanksi moral yaitu penilaian kurang baik dari KPU, masyarakat, dan media massa sebagai publikasinya. Karena kurang tegasnya sanksi yang diberikan, banyak partai yang tidak mengindahkan peraturan yang ditetapkan oleh KPU. Begitu miris, karena partai-partai tersebut adalah partai-partai besar seperti Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat dan PKB. Mereka hanya mengusung sekitar 11 persen perwakilan perempuan sebagai caleg. Berkebalikan dengan partai-partai kecil yang mengajukan caleg perempuan di atas 40 persen yaitu Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.
Keterwakilan caleg perempuan pada tahun 2009 secara rata-rata mencapai 35,25 persen atau sebanyak 3.902 orang, lebih sedikit dari perwakilan laki-laki sebagai caleg, dengan alasan kurangnya eksistensi perempuan untuk bidang politik. Padahal, jika dinilai berdasarkan statistik jumlah perempuan di Indonesia, sangat tidak adil memberikan 30 persen kepada perempuan untuk ikut berkiprah di kancah politik. Meskipun jika dibandingkan tahun 2004 lalu kesempatan perempuan untuk terpilih menjadi wakil rakyat hanya 12 persen. Apakah ini merupakan kemajuan pola berpikir dan gerakan yang progresif untuk memberi ruang gerak pada kaum perempuan dalam kancah politiknya?
Pemberdayaan perempuan perlu diberikan ruang nyata untuk menebarkan potensi yang ada. Namun terdengar suara-suara sumbang yang berasal dari DPR mengenai pemberian jatah 30 persen untuk perempuan sebagai caleg. Sebagian dari mereka menolak peraturan yang menyatakan bahwa 30 persen perempuan duduk di parlemen. Dengan dalih pembatasan peran perempuan dari jenis kelamin. Begitu ironis, di satu sisi mereka ingin mengakui persamaan peran antara laki-laki dan perempuan, namun di sisi yang lain, secara tidak langsung mereka membatasi ruang gerak perempuan.
Peran politik perempuan dalam dunia politik dapat beraneka ragam. Tetapi, peranan tersebut masih sebatas topik dalam diskusi dan pelatihan saja. Padahal sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Tidak hanya dari masalah pengakuan capable ataupun kualitas yang dimiliki perempuan, tetapi kurangnya dukungan penuh dari kalangan perempuan itu sendiri. Masih adanya keraguan dari pihak perempuan sendiri ketika salah satu diantara mereka siap dan berani maju untuk menjadi salah satu wakil di parlemen. Ketiadaan dukungan dari sebagian perempuan tentu didasari oleh stigma dimasyarakat yang menilai perempuan cukup menjadi makmum saja. Perempuan masih mencampuradukan kepercayaan terhadap agama yang mereka anut dengan partisipasi mereka untuk terjun ke dunia politik. Sehingga kesempatan tersebut kandas dan dimainkan kembali oleh laki-laki. Pertarungan di wilayah politik memang penuh intrik antara siapa memengaruhi siapa. Persoalan pengaruh inilah yang harus digalang dari solidaritas kaum perempuan untuk memberi kepercayaan kepada para perempuan yang berkualitas dalam bidangnya.
Emansipasi yang diperjuangkan oleh R.A.Kartini hendaknya tetap diperjuangkan oleh kaum perempuan di masa sekarang. Bukan sekedar sebagai buntut laki-laki namun bisa berjalan sejajar dan beriringan dengan kebebasan yang beraturan. Kini apa salahnya jika kita sebagai kaum perempuan berani maju untuk perbaikan kita sendiri. Karena notabennya demokrasi tidak pernah kenal jenis kelamin.


catatan;
Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung

1 komentar:

  1. OK bagus mbak, sering-sering nulis mbak, Was dari pembaca Cirebon

    BalasHapus